Sebagai seseorang yang independen, sosok yang dapat diandalkan, rata-rata mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, aku kerapkali dianggap sebagai perempuan ‘man-repeller’. Bagaimana hasilnya ketika aku mencoba untuk memformulasikan sebuah rumus ‘modern love’ untuk wanita seperti ini? Sungguh akurat. Belum pernah sebelumnya aku diapresiasi sedemikian rupa melalui sebuah aplikasi kencan. Oh ya, cerita ini lebih menyenangkan karena aku menggunakan Benedict Cumberbatch sebagai contoh dalam hal ini. (English Verson Here)
OLEH ELIZABETH RAISA TEE
DITERJEMAHKAN OLEH VITA KARTIKA
Aku bukanlah sosok perempuan yang digandrungi, digosipkan atau diobralkan untuk dikejar berkencan di pasar Indonesia, titik. Pada kenyataannya, alur hidupku terasa lebih terarah, harmonis dan kalem tanpa boy trouble yang berarti sejak dini.
Oleh karena itu, begitu ada match yang kutemui secara online (selanjutnya, aku akan menyebutnya sebagai The Match) yang bisa menerima—bahkan menghargai—diriku sehari-hari yang kadang banyak bicara dan blak-blakan beremosi, aku mulai mempertanyakan dengan sinis: Apakah masih ada lelaki baik di dunia ini?
Fakta ini ditambah pula bahwa seorang teman pernah berkata padaku kalau aku terlalu ini ‘wanita alpha’ dan aku memiliki daftar yang menakutkan. Yang ia maksud adalah daftar man-repeller yang kumiliki untuk diriku:
Aku merencanakan hidupku hingga 2049. Segala sesuatu yang kulakukan adalah pondasi dari hasil yang akan kuraih pada periode 2045-2049 kelak.
Aku adalah seorang sarjana. Oke, bukan masalah besar.
Aku memiliki gelar pascasarjana. Well, kurasa aku telah dengan sendirinya menghilangkan banyak pasaran—aku sudah berulangkali diingatkan tentang hal ini oleh nenek dan keluarga keturunan Tionghoa yang berasal dari generasi lebih tua.
Bagaimana nanti jika aku bergelar doktor? Kurasa nenekku akan pingsan.
Aku adalah seorang sapiosexual dan polyglot. Aku fasih berbicara dalam empat bahasa dan tiga dialek. Apakah aku kehilangan lebih banyak pasar dengan ini? Seorang temanku bisa berbicara 9 bahasa. Ia dan ayahnya yang berbicara 13 bahasa adalah inspirasiku selain Amal Amaluddin.
Menekuni beladiri dan bertujuan untuk mendapatkan ban hitam (tinggal 2x ujian!). Sangat tidak feminin dan brutal jika dilihat secara kasatmata, ya.
Aku adalah seorang ambivert. Suatu saat aku bisa sungguh-sungguh mudah bergaul dan menjadi pribadi yang amat dinamis dan penuh ekspresi—tabat yang tidak terlalu anggun. Di saat yang lain, aku akan menjadi sangat tertutup selama seminggu atau dua minggu, bahkan ibuku merasa frustrasi karena kesulitan menghubungiku.
Salah satu pekerjaanku adalah menjadi dosen sejak aku berusia 22 tahun. Terlalu muda untuk melakukan pekerjaan yang dicap ‘sesepuh’? Jika demikian, aku memang seorang perempuan dengan mental ‘nenek’. Aku mengajar tentang fashion business, desain grafis, game arts, desain, dan industri kreatif. Aku pernah menjadi pembimbing pula. Kurasa aku harus jujur dantak ingin melakukannya lagi dalam waktu dekat ini. Mahasiswa-mahasiswi itu butuh penggemblengan mental—mereka sungguh manja, padahal perguruan tinggi adalah tahap terakhir sebelum memasuki dunia kerja.
Aku menjalankan beberapa projek dan start-up, termasuk hotline aman bagi perempuan ini dan festival pemberdayaan perempuan, serta mengelola sebuah bisnis keluarga—semuanya secara bersamaan.
Aku bisa memainkan piano dan sempat memainkan biola di sebuah orkestra. Aku menduduki peringkat 13 dari 100 siswa ketika SMA—sungguh sesuai dengan stereotip murid-murid Asia.
Aku menghadiri konferensi di bidang pemasaran dan teknologi. Aku membenamkan diri dalam buku-buku sejarah Asia di perpustakaan dan kelas-kelas filsafat.
Aku juga menggemari bermain video games. Ketika aku berada di rumah, aku adalah seorang nerd.
Aku berkelana untuk melakukan riset atau mengunjungi klien-klienku. Di umur 25 tahun, rekor terbesarku adalah melakukan perjalanan paling tidak sekali dalam 10 bulan dari setahun. Aku tidak ingin melakukannya lagi—sungguh melelahkan.
Aku dapat berpergian sebagai backpacker, aku menginap di akomodasi teman, aku menyewa kamar di hotel berbintang lima, aku beradaptasi dengan santai ketika solo travelling. Asalkan aku bisa bertemu teman-teman—lama maupun baru—aku tidak masalah pergi ke mana saja. Tidak ada yang bisa menahanku dari berpergian, bahkan tidak orangtuaku, walaupun mereka tetaplah orang-orang pertama yang akan kudengarkan dalam hal apapun. Jiwa petualangku lah yang menantangku untuk melakukan solo-travelling.
Tampangku sungguh-sungguh tidak bagus ketika aku melakukan cardio. Aku terlihat seperti ikan dugong yang berkeringat—adakah di antara kalian yang juga merasa sepertiku? Aku mengambil kelas-kelas hip-hop, modern, zumba, belly dance, body bump, dan boxing, dan, percayalah, aku benar-benar tidak paham bagaimana Shakira atau Beyonce atau gadis-gadis lain tidak melakukan banyak gerakan dan hanya berdiri saja di sana untuk terlihat oke. Seseorang memberitahuku bahwa memang ada beberapa orang yang datang ke gym dan terlihat keren dengan pakaian olahraga, hairspray, dan bulu mata palsu, namun tidak sungguh-sungguh melakukan olahraga. Mereka memiliki kemampuan pengeluaran yang sungguh kuat, pikirku.
Dan, tentu sekali, aku MEMBOSANKAN, lho. Ya, aku tidak suka kehidupan malam. Aku sudah tertidur pulas paling lambat pada tengah malam. Memang, di jam-jam itulah kalian bertemu dengan orang-orang yang menurutmu layak untuk diajak mengobrol dan berbaur? Aku tidak tertarik dengan itu.
Jadi, seperti yang kau lihat, secara kasatmata aku bukanlah perempuan yang anggun, dan aku jelas-jelas tidak memenuhi gambaran ideal seorang istri bagi laki-laki Indonesia, karena ibu-ayahku telah membentuk saya untuk menjadi orang yang berpendirian, berpendapat dan berfondasi kokoh dalam agenda hidupku, seperti seorang laki-laki yang dicap mapan dan bervisi. Lalu, apa ini mengurangi 'kewanitaan'ku? Jelas tidak (walau untuk menjaga keselamatanku, memang aku memancarkan aura 'galak'). Mau rambut dipotong cepak kaya laki-laki atau merokok, setiap perempuan mempunyai pesona dirinya masing-masing yang harus anda lebih peka dan teliti. Seorang perempuan punk pun, adalah seorang wanita.
Aku mengakui dan aku tahu jelas, mereka mengharapkan seorang perempuan yang cantik jelita, berparas manis, pintar mengulas wajah ataupun dibantu - yang dididik sebagai putri, akan mendapatkan pangerannya dan hidupnya akan monoton di mataku. Sedangkan aku sendiri sudah nyaman dibesarkan oleh ibuku dengan baju-baju yang ia belikan dari departemen baju laki-laki dan diluar baju gereja dan seragam sekolah, aku tidak mempunyai, dan akhirnya memang tidak suka, menggunakan rok karena keselamatan nomor satu sejak kejadian 1998. "Biar kamu bisa gampang lari kalau apa-apa terjadi," pesannya.
Kamu dapat bertanya balik “Ayolah, mengapa kau menilai dirimu seperti itu?” Jika kau mengamati diriku, kau akan paham. Siapa yang mau mendekati seorang perempuan Asia yang bertulang bongsor, tanpa riasan wajah, dan siap menyerang dengan senjata pensil-pensil tajam di tubuhnya?
Sebelum algoritma memertemukanku dengan The Match, aku menggunakan aplikasi-aplikasi kencan ini sebagai sebuah riset—seringkali dengan diriku sendiri sebagai subjeknya.
Aku menangani aplikasi berbasis Android, sedangkan saat itu, rekan risetku menangani aplikasi berbasis iOS. Mulai dari UI/UX, penggunaan data, hingga antropologi sosial dari aplikasi-aplikasi kencan online, segala tingkah lakuku adalah data yang diproses menjadi analisis. Untuk mencari pasangan hidup bukanlah tujuanku sama sekali.
Kisah ini bermula ketika aku berpikir: “Apa yang terjadi bila pengguna merasa tidak cocok dengan daerah di sekelilingnya? (Akan aku gambarkan aplikasi kencan online yang paling terkenal dan nomor satu sebagai contoh: Tinder memiliki maksimal sejumlah kilometer sebagai cakupan, dan konsep ini pun diikuti oleh aplikasi-aplikasi lainnya). Akankah ia akan berganti ponsel ke iOS untuk menggunakan Bumble karena itu adalah aplikasi perempuan pertama yang menekankan janji kualitas dibanding kuantitas? Apa yang harus ia lakukan?”
Untuk si pengguna ini, seorang perempuan dengan atribut-atribut yang ku juga miliki, aku membuatkannya sebuah formula cinta.
Formula: dirimu dan gaya hidupmu + tipe idealmu + darimana ia berasal = posisikan dirimu di sana.
Mungkin terlihat sederhana, namun faktanya, kalian membutuhkan banyak sekali metadata dan pemahaman dari seluruh pihak untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Sudah siap mencatat?
Inilah formula yang kugunakan, tahap demi tahap:
Milikilah tipe ideal. Kalian ingin pasangan kalian semirip mungkin dengan tipe ideal tersebut. Jangan bohong pada dirimu. Mari menggunakan Benedict Cumberbatch sebagai contoh acuan pada formula ini.
Analisalah latar belakang tipe ideal kalian tersebut. Misalnya, Cumberbatch memiliki kewarganegaraan Inggris. Ia tinggal di area Hampstead Heath di London. Dia berasal dari UK, dari kedua orangtua yang juga merupakan keturunan Inggris dan bukan dari ras campuran. Ia memiliki ketertarikan dalam bidang x, y, dan z, dan ia mengadvokasi isu-isu sosial terkait. Semakin banyak pengetahuan yang kalian miliki mengenai atribusi-atribusi ini dalam level semiotik, akan semakin baik, karena kalian memiliki detil-detil sungguhan dari apa yang kalian inginkan.
Refleksikan sifat ataupun sikap yang ia miliki yang paling kalian sukai. Kalian mungkin menyukai orang yang humoris, atau mereka yang diberkahi raut wajah yang memesona. Tentukan prioritas kalian dalam hal ini, agar kalian memahami orang seperti apa yang kalian cari.
Kini, saatnya berfantasi dan membuat skenario. Bayangkan dirimu dan tipe idealmu memiliki kecocokan dan hubungan kalian berjalan dengan baik—karena hal ini kalian sangat menyukai tipe idealmu ini, bukan? Apa sifat terbaik dan burukmu? Apa yang paling membuatmu bahagia dalam hidup ini? Silahkan menjawabnya sendiri. Tidak jujur, tidak akan akurat. Mohon perhatianmu: bahwa jika match-mu nantinya tidak suka dengan definisi kebahagiaanmu, atau jika ia merendahkan hal-hal yang membuatmu senang, silahkan unmatch tanpa rasa bersalah. Kau layak mendapatkan orang yang lebih baik daripada itu.
Bisakah kalian membayangkan dirimu hidup bersama pada lokasi dan kebiasaan tipe idealmu tersebut? Apakah kalian memiliki gaya hidup dan kegemaran yang cocok? Jika ya, maka artinya pada aplikasi tersebut, kau bisa menuliskan data diri dan memasang foto profil yang memang merefleksikan dirimu yang sebenarnya tanpa perlu melebih-lebihkan apapun merupakan profil terbaik yang akan pernah ada.
Sudahkah kalian mulai memahami perhitungannya sekarang? Jika kalian sungguh-sungguh tertarik pada tipe idealmu tersebut karena kepribadian dan penampilannya, maka tempat darimana ia berasal juga berpengaruh dalam membentuk seseorang menjadi serupa dengan tipe idealmu itu. (Seorang Benedict Cumberbatch memang tidak akan pernah kita dapatkan, namun setidaknya dapat berjumpa dan bersalaman di lokasi tersebut :-) Manusia selalu berkembang—kita mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan, orangtua, teman, keluarga, kebiasaan, gaya hidup, dan lain-lain. Karenanya, penting untuk mempertimbangkan aspek-aspek sosial-antropologi tersebut untuk memahami dirimu dan apa yang kau mau terlebih dahulu. Love and know yourself first before you try and find someone. Dengan aplikasi kencan online dan profil yang sudah kau isi sedemikian rupa, kau bisa mulai mencari di mana kira-kira orang yang sesuai dengan tipe idealmu berada.
Tunggulah sehari dua hari. Biarkan mereka yang men-swipe atau memberikan like padamu terlebih dahulu (tergantung aplikasi apa yang kamu gunakan). Dengan demikian, kau bisa mengetahui apakah perhitunganmu sebelumnya sudah tepat dengan area yang kau pilih ini.
Apakah formula tersebut berjalan dengan baik? Secara kuantitas, apakah kau mendapat cukup banyak apresiasi dalam bentuk likes? Jadikan mereka match-mu bila kau merasa tertarik untuk berbincang lebih lanjut setelah melihat bio dan foto profilnya. Dari situ, kau bisa mulai memilah-milah dan menentukan tentang kualitas—mana yang cocok dan bisa dilanjutkan, serta mana yang tidak.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul pada benaku mungkin adalah, apa yang menjadi tolak ukur kesuksesan dalam hal ini?
Sebagai perbandingan, aku menempatkan diriku di Jakarta dan kota luar negeri itu yang saya terapkan. Secara kuantitas di Jakarta, aku mendapatkan hampir nol likes. Ini wajar kok, karena aplikasi yang kugunakan kala itu memang tidak terlalu populer penggunanya di Indonesia. Pengguna di Indonesia pada umumnya akan mentok dengan saya dibawah satu jam, karena beberapa di antara mereka sudah kuduga untuk menjurus kepada “your place or my place”. Memang ada beberapa bio yang kurasa bagus, namun mereka juga tidak memberikanku likes kembali (tepuk sebelah tangan dalam aplikasi online itu sangat biasa, jangan sedih wahai perempuan). Ya toh, memang saya bukan tipe perempuan yang dicari di pasar Indonesia.
Pada kota yang saya terapkan formula saya, nyatanya, aku pada saat itu tidak terlalu paham mengapa profil saya bisa luar biasa sukses. Tepatnya pada nomor 7 untuk dibiarkan profil saya yang ditampilkan sana-sini sedangkan pengguna lelaki disitu yang sibuk menyortir atau ‘mancing’ ikan pada tumpukan kartu foto-foto kita itu memang harus dijalankan.
Kok bisa ya? Mari kujelaskan formula yang kugunakan ini sukses secara kualitas untuk pengguna perempuan dengan atribut ‘man-repeller’ ini.
Pada profilku, aku sama sekali tidak menggunakan foto wajah yang diberi aneka ragam filter kecantikan (karena memang aku pun tidak gemar berswafoto). Foto-foto profilku adalah pose membelakangi kamera dengan patung KAWS ukuran jumbo, menampilkan foto ‘dodol’ monster-eating-face, wajah muramku dan jetskiku, serta fotoku ketika mengikuti sebuah konferensi. Serta, bio terpanjang yang mungkin pernah kau baca dalam sebuah aplikasi kencan online.
Aku paham bahwa hal-hal ini sama sekali tidaklah menarik bagi kebanyakan orang Indonesia (siapa yang betul-betul membaca? Budaya kami memang kurang menyukai membaca secara meneliti).
Karenanya, aku merasa sangat diterima dan dihargai lewat pengguna-pengguna di sebuah aplikasi online tidak memberikanku penilaian dan melontarkan pertanyaan stereotip yang pada umumnya akan kuterima.
Pengguna-pengguna ini, menurutku, adalah tipe lelaki yang kurasa, tiap perempuan memahami bahwa jauh di dalam lubuk hati mereka, lelaki seperti inilah yang mereka cari—yang memperlakukan perempuan sebagaimana mereka adanya, sebagai partner yang setara, dapat berbincang dan bertukar pendapat tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain. Tidak ada yang melebih-lebihkan apapun, kedua belah pihak adalah diri mereka sendiri, yang sebenar-benarnya, baik ketika mereka sedang rileks atau sedang serius. (Aku selalu berharap pada masa mendatang aku dapat meng-impor sedikit populasi dari tempat ini untuk kalian karena pria-pria ini dapat menghormati perempuan secara adil. We need more boys and men like this.)
Aku tidak menyangka jika diluar dari pendapatan data dan kesimpulan riset, pada diriku pun terimalah sebuah hasil nyata dari eksperimen ini.
Meskipun demikian, sebagaimanapun skeptisnya aku sebagai dengan aplikasi online yang kuobservasi secara ilmiah ini, datanglah The Match yang seketika mengubah segalanya. Dengan begitu saja ia membuatku kewalahan dengan formulaku sendiri, padahal tiga tahun lamanya aku belum pernah menemukan match yang membantu diri aku sendiri untuk meninjau mekanisme pertahanan terhadap lawan jenis.
Tak butuh waktu lama bagi formula itu untuk mulai membuahkan hasilnya ketika dijalankan. The Match muncul pada aplikasiku tepatnya pada hari ke-sepuluh. Aku ‘bersirkulasi’ sekitar dua pekan penuh di tempat tersebut.
Ini bab akhir yang sesungguhnya (yang pada kepo, termasuk pelanggan saya jika ia membaca ini)
Kalian mungkin penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana akhirnya, atau, bagaimana awalnya The Match meruntuhkan dinding pertahananku? Bagaimana aku menemukannya dan mengapa tidak sejak hari pertama?
Semua bermula ketika aku melihat fotonya—betapa nyamannya ia ketika menggunakan kaos bergambar unicorn, dan betapa hal itu adalah sebuah kebetulan yang manis, mengingatkanku pada sepatu berhak unicorn yang sangat kusayani.
Lakukan analisis semiotik dari data tersebut, dan kau akan menemukan alasan mengapa ia tidak bisa kulemparkan ke zona friendzone. Hanya dengan berbincang melalui teks dengan seseorang yang berada nan jauh di sana, anehnya, hari-hariku dapat diwujudkan seperti Mraz’s ‘Unlonely’ sejak ‘Day One’-nya HONNE dan harus kulihat ia dalam ‘New Light’-nya Mayer.
Untuk percakapan yang menyenangkan, aku mengucapkan terima kasih kepada lawanku pengguna aplikasi kencan daring ini.
Tanpa adanya waktu dan balasan yang kerap kami berikan, pengakuan #PTTMerdeka ini tidak akan terjadi sama sekali dari diriku - aku dapat mencari luka-luka lama yang sebagian besar telah menjadi penghambat dari kehidupanku selama ini, dibawah luka seperti trauma dan rasa kebencian yang ada terhadap fakta tersebut.
Sederhananya, ia dapat meruntuhkan dinding pertahananku, dan itu merupakan hal yang baik agar aku dapat mengasah kembali diriku dan melakukan proses pengobatan diri dengan tenaga sendiri sebelum aku akan mencari pertolongan profesional dalam waktu dekat.
Kini, giliran kalian para pembaca, apakah formula ini ternyata telah pada kalian? Aku tunggu kabar-kabar menarik dari kalian lewat cuitan.
Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih pada Narjas Zatat yang telah banyak menolongnya dalam proses penulisan, dan padamu, The Match yang telah menjadikan momen penyembuhan diri ini bisa terjadi untuk pertama kalinya.
Tentang Penulis:
Elizabeth Raisa Tee adalah pendiri dari Perempuan Tagar Tegar (P#T), sebuah gerakan non-profit dan hotline daring untuk isu-isu ketidaksetaraan gender. Ia juga menjabat sebagai asisten produser dari It’s A Girl Thing Live, konferensi internasional pertama tentang pemberdayaan perempuan yang dihelat di Jakarta, Singapura, dan Manila. Ia juga banyak melakukan beragam hal lainnya di berbagai kota dan negara. Ia berusia 25 tahun ketika artikel ini ditulis.
Comments