[MEMUAT KONTEN NSFW] Karena menjadi mahasiswi di sekolah mode adalah semua tentang impian seks dan citranya; kultur perihal pornografi adalah sesuatu yang bisa dipelajari di universitas dan kelas tentang Kama Sutra telah memberikan pencerahan bahwa sesungguhnya seks sama sekali bukanlah hal yang buruk. Ironisnya, semua ini kupelajari ketika aku berada di perguruan tinggi. (English Version here)
OLEH ELIZABETH RAISA TEE
TERJEMAHAN OLEH VITA KARTIKA
Keingintahuanku bermula ketika rasa hormatku pada laki-laki heteroseksual telah mencapai titik terendahnya setelah aku mengalami episode #MeToo di masa kanak-kanak.
Beranjak remaja, aku mulai untuk mencari jawaban sendiri. Saat itu, aku tak bisa membicarakan tentang hal ini ke siapapun, apalagi mendiskusikannya secara kritis.
Secara bersamaan, aku merasakan aspek seksualitasku berkurang. Aku memang masih tertarik dengan lawan jenis, tapi di sisi lain aku pun merasa aseksual.
Tubuhku bukanlah jenis yang diterima oleh standar Asia. Aku pernah berada pada fase penuh keluhan dan pertanyaan mengapa aku memiliki ukuran dada cup D (Mayoritas perempuan di Korea Selatan pun memiliki sentimen yang sama denganku ini). Mengapa seks adalah sesuatu yang menjual? Mengapa laki-laki tidak bisa mengontrol libido mereka, sementara perempuan bisa? Mengapa seks dielu-elukan ketika hal tersebut terdengar begitu menyakitkan? Hal-hal ini tak pernah berhenti berputar dalam pikiranku; pertanyaan-pertanyaan ini terlintas pada pikiran ketika aku berusia 15 tahun.
Pendidikan sarjana pertamaku menjadi sebuah pengalaman yang memperkaya pandanganku tentang seksualitas. Mempelajari industri dan seni mode di usia 15 tahun menuntutku untuk menjadi dewasa. Aku terbiasa berkutat dengan tubuh yang dihiasi sekaligus diobjektifikasi setiap harinya. Mengapa seluruh foto dan imaji fashion harus ditampilkan secara seksual?
Mengapa seks adalah sesuatu yang menjual? Mengapa laki-laki tidak bisa mengontrol libido mereka, sementara perempuan bisa? Mengapa seks dielu-elukan ketika hal tersebut terdengar begitu menyakitkan? Hal-hal ini tak pernah berhenti berputar dalam pikiranku; pertanyaan-pertanyaan ini terlintas pada pikiran ketika aku berusia 15 tahun
Sedikit latar belakang tentang sejarah seni: Renaissance gaze dan fashion gaze memiliki pandangan yang berbeda terhadap tubuh manusia. Renaissance gaze mengaitkan makhluk hidup dan ukuran tubuhnya dengan kekayaan dan kemakmuran, sedangkan fashion gaze menekankan pada aspek erotis dan mengindikasikan adanya tekanan sosial atas penerimaan dan penghargaan.
Sebagai mahasiswi jurusan komunikasi mode, pengalamanku sudah bervariasi dari yang harus menciptakan imaji-imaji mode yang pasar inginkan dan harapkan; lalu aku menulis berbagai karya ilmiah tentang male gaze; menjadi dresser dan memasangkan pakaian pada begitu banyak tubuh laki-laki maupun perempuan yang telanjang.
Bagiku, itu hanyalah sebuah pertunjukan. Aku memandang mereka tak lebih sebagai manusia yang akan mengenakan dan memeragakan busanaku. Aku membiarkan audiens untuk memberikan penilaian seksualnya masing-masing. Aku merasa itu bukan hal yang penting bagi seorang yang bekerja secara profesional sepertiku.
Di samping itu, aku pun sadar bahwa tubuhku adalah jenis yang dengan mudah dapat mengundang perhatian laki-laki dan male gaze yang sungguh tak kusukai. Bahkan sekadar memikirkan pandangan para predator itu terhadapku saja bisa membuatku bergidik ngeri. Aku benar-benar merasa sendirian. Karenanya, aku teguh memegang pendirian untuk menghindari tatapan yang amat kubenci tersebut, salah satunya adalah dengan tidak minum alkohol di malam hari.
Seperti sebuah perjodohan sukses, salah satu kelas yang kuambil di perguruan tinggi kemudian memperkenalkanku pada sejumlah desainer avant-garde Jepang tahun 1970an yang karyanya telah mendobrak batasan-batasan akan siluet tubuh perempuan. Sangat memikat dan sangat berbeda—aku memutuskan bahwa inilah pakaian perlindungan yang akan kukenakan setiap harinya.
Tahun demi tahun berjalan, dan aku kini bukanlah aku tanpa pengaruh Harajuku dan estetika Avant Garde. Tampilanku berkiblat pada penyanyi Kyary-Pamyu-Pamyu, yang dandanan ‘Anti-Fashion’-nya jauh dari kesan objektifikasi massal.
Maka, dengan tampilan avant-garde tersebut, aku merias tubuhku dengan lapisan demi lapisan kesederhanaan, kegelapan, sarkasme, kebijaksanaan, dan perlindungan. Tak hanya untuk melindungiku dari male gaze, tapi juga sebagai upaya memberdayakan diriku sendiri dan membuatku nyaman tampil di mata publik.
Di samping itu, aku pun sadar bahwa tubuhku adalah jenis yang dengan mudah dapat mengundang perhatian laki-laki dan male gaze yang sungguh tak kusukai. Bahkan sekadar memikirkan pandangan para predator itu terhadapku saja bisa membuatku bergidik ngeri.
Berkaca pada hal ini membuatku menyadari tentang keputusan psikologis yang kuambil secara sadar. Tentang bagaimana aku membangun identitas dan kepribadianku, serta tentang bagaimana aku memilih untuk menampilkan atribut-atribut personalku kepada dunia.
Pilihan dalam penampilan lewat mode aku mengatakan secara gamblang dan jelas; bahwa ini bukanlah sindiran, melainkan bentuk perlindungan diriku dalam mekanisme pertahanan seperti Peterpan Complex. Aku merasa puas dengan pilihanku ini; menampilkan diri secara aseksual memungkinkanku untuk menjalani hidup dengan lebih baik, memfokuskan diri pada hal-hal yang lebih penting: Prioritas hidupku, hal-hal yang kugemari, isu-isu yang kuanggap penting, lingkaran pertemananku, dan ambisi-ambisi personalku.
Ah, kegamanganku belum berakhir, tentu saja belum. Aku terus mencari lebih banyak jawaban atas beragam pertanyaan dalam hidupku, seperti, “Bagaimana dan mengapa bersenggama menjadi kegiatan yang amat diidamkan?”
Di usia 20 tahun, aku mulai terdaftar di sekolah pascasarjana. Pornografi, politik dan protest Japanese post-war cinema adalah matkul yang kupilih. Melalui ini, aku mencoba untuk memahami, untuk menempatkan diriku di posisi mereka, mereka yang menjadi wanita penghibur di masa lalu, yang dipaksa dengan amat brutal untuk memenuhi keinginan laki-laki.
Selalu untuk laki-laki.
Di titik ini, rasanya aku sungguh membenci laki-laki dalam hidupku. Walaupun di sisi lain tentu aku masih memiliki ketertarikan dengan beberapa di antara mereka.
Dalam mempelajari penggambaran yang paling tidak terbayangkan dari hubungan seksual, maka Jepang lah pelopornya. Masyarakat Jepang bisa dibilang adalah salah satu masyarakat yang paling inovatif dan ekstrem dalam mengekspresikan hasrat seksual mereka. Ibaratnya, jika kamu ditempatkan pada kotak kecil di kantor atau di rumah, maka kamu cenderung akan membayangkan ide-ide paling kreatif dan paling gila untuk keluar dari kesesakan itu.
Kotak yang kumaksud adalah metafor dari tekanan dan ketegangan yang dialami mereka, khususnya di dunia kerja. Mereka memiliki kecenderungan untuk melampiaskannya dengan tekanan, ketegangan, rasa sakit, dan siksaan yang serupa. Hanya saja, dalam hal ini mereka melakukannya pada tubuh perempuan.
Kultur Kinbaku-bi, yang pertunjukannya pernah kutonton di London membuatku memahami bahwa:
Bondage adalah sebuah seni yang membuatku terpikat. Apalagi tujuan utamaku di sana memang adalah untuk menikmati pertunjukan.
Perempuan adalah makhluk yang sangat ulet dan kokoh—tubuhnya bisa tetap bergerak di udara ketika tali yang kasar dan kuat dipasangkan secara kencang di area genital mereka yang amat sensitif.
Bahkan untuk mengikat simpul-simpul tersebut pun tak sembarangan. Butuh waktu untuk mempelajarinya sebelum benar-benar mempraktekkannya pada seseorang. Bondage sungguh adalah sebuah seni. Jauh berbeda dengan sekadar mencapai kesenangan melalui rasa sakit dan siksaan, seperti misalnya, 50 Shades of Grey yang amat populer itu. Itu bukanlah gambaran bondage yang orinsil, melainkan hanya BDSM pada umumnya.
Tidak lupa juga bahwa tidak hanya perempuan, karena memang laki-lakilah yang selalu mempunyai hasrat seksual ketimbang penggambaran perempuan dan hasratnya (yang tentu saja ada!) - adegan laki-laki yang melakukannya ke anjing atau kuda; Jepang memiliki semuanya itu. Aku sudah melihat segalanya melalui sudah melihat semuanya melalui secara sadar—dengan kacamata sosiologis dan analitis.
Faktanya, aku harus menggali lebih dalam lagi perihal mengapa pandanganku tentang seks telah terasosiasi dengan segala sesuatu yang negatif, seperti pemerkosaan, pelecehan, pelacuran, sindikat pekerja di bawah umur, dan lain-lain. Memang sangat disayangkan, namun itulah berita yang tiap hari kukonsumsi dan sedikit banyak membentuk anggapan negatifku tentang seks.
Lalu, suatu hari, di kelas Filosofi kami membahas tentang Kama Sutra. Tak kusangka, Kama Sutra adalah Filsafat Timur perihal seks dan bercinta sebagai upaya perayaan atas dua insan yang disatukan oleh cinta dan kasih sayang. Hal ini pertama kali didokumentasikan pada masa sebelum Kristus, era sebelum dunia Barat mempropagandakan kesucian dalam nama Kristen. Maka, semuanya dilakukan untuk mencapai kesenangan duniawi belaka, dan itu adalah hal yang lumrah dan dapat diterima.
Ironisnya, kini kita tak pernah benar-benar bisa memisahkan agama dari politik, dan sebaliknya. Aku sungguh berharap kita bisa kembali ke masa di mana seks adalah kegiatan yang indah, suci, penuh dengan unsur spiritualitas antara dua makhluk yang saling mencintai dan menghargai—dan bukannya sesuatu hal yang perlu untuk ditakuti atau menimbulkan rasa malu.
Tapi kini segalanya telah berubah. Dengan begitu banyak doktrin keagamaan, kini adat Ketimuran menganggapnya sebagai hal yang tabu dan menimbulkan dosa. Tak perlu melakukan, bahkan topik tentang seks dan bercinta adalah sesuatu yang tak layak untuk didiskusikan secara terbuka, terutama bagi wanita. Ruang untuk membicarakan hal seks dan seksualitas diri secara serius hampir tidak ada. Aku ingin terus mendorong kesadaran perlunya perhatian dan penanganan yang lebih cerdas dan terbuka terhadap perempuan dan kebutuhan pribadinya.
Apa yang dahulu murni dianggap sebagai penghubung dan pemersatu, kini telah memiliki arti yang sepenuhnya berbeda, karena politik dan agama telah begitu besar peranannya dalam kehidupan bermasyarakatnya. Yang ada, kita sekarang hanya bisa menjustifikasi diri kita dalam batasan-batasan dan kepercayaan yang kita miliki sendiri, baik itu di gereja, melalui meditasi, ataupun cara-cara lain yang masing-masing dari kita yakini.
Aku berharap dulu aku memiliki ruang untuk mengutarakan segala pikiran ini—seluruh pertanyaan yang membebaniku. Andai saja aku dulu aku bisa mendapatkan jawaban-jawabannya, baik secara filosofis maupun ilmiah, tentu kini aku tidak akan memiliki begitu banyak kebingungan. Tentu kini kita tak perlu ragu untuk menyuarakan isu-isu penting yang berdampak amat besar dalam kehidupan tiap individu ini. Untungnya, kini aku telah menemukan jalanku, bersama P#T. Kuharap kalian ingin membangun ruang bicara yang aman itu bersama dengan kami?
Tentang Penulis
Elizabeth Raisa Tee adalah pendiri Perempuan Tagar Tegar (P#T), sebuah gerakan nirlaba dan hotline daring untuk isu-isu ketidaksetaraan gender. Ia juga menjabat sebagai asisten produser dari It’s A Girl Thing Live, konferensi internasional pertama tentang pemberdayaan perempuan yang akan dihelat di Jakarta dan Manila. Ia juga banyak melakukan beragam hal lainnya di berbagai kota dan negara. Ia berusia 25 tahun ketika artikel ini ditulis.
Comments