Jika kau cukup berani untuk menyatakan kebenaran, kamu dapat dianggap sebagai sahabat sejati yang sesungguhnya — tak peduli seberapa menyakitkannya hal tersebut. Dengan begitu, kau mungkin saja telah menyelamatkan hidup seseorang. Temanku telah menyelamatkan hidupku. (English Version here)
OLEH INDAH
DITERJEMAHKAN OLEH VITA KARTIKA
2 tahun aku menjalani hubungan tidak sehat.
1 tahun aku mengalami depresi.
6 bulan aku menangis tanpa henti.
Aku kini merefleksikan bagaimana aku sampai di titik kehancuran mental dan fisik ini.
Awalnya serupa dengan yang lain-lainnya
Segala macam sensasi—kau tahu maksudku—memenuhi tubuh dan jiwaku ketika aku pertama kali bertemu dengan mantan pacarku itu. Segalanya berubah ketika ia lantas menanyakan nomor teleponku.
Kala itu, usiaku 16 tahun.
Usianya 30 tahun.
Aku yang masih remaja merasa impianku menjadi kenyataan. Jujur saja, aku memang sempat berada dalam fase terobsesi pada aktor-aktor paruh baya.
Di awal hubungan, kurasa aku seharusnya lebih waspada ketika ia mengatakan bahwa ia tidak keberatan dengan usiaku yang masih 16 tahun. “Toh, kau juga akan berusia 17 tahun bulan depan,” ujarnya. Aku tak pernah menganggap ucapan ini sebagai peringatan—hingga saat ini diceritakan, 2 tahun kemudian.
Aku kehilangan keperawananku di usia 17 tahun, dan aku menganggapnya sebagai perkembangan yang alamiah dalam hubungan baru kami yang menggairahkan ini. Setelah lulus SMA, aku diterima di sebuah perguruan tinggi di luar kota. Inilah awal mula kehancuran segalanya.
Dirinya
Ia mulai cemburu. Hampir tiap saat.
Ia menguntit dan mengikuti seluruh akun media sosial teman-temanku. Ia menjadi paranoid—ia memanggilku pelacur dan memberikan tuduhan bahwa ‘kau mau semua lelaki yang kukenal untuk menidurimu’. Kehidupan sosial dan organisasiku hancur berantakan; ia akan marah besar jika aku terlambat membalas pesannya atau jika aku berada di kampus terlalu lama. Aku yang pada dasarnya seorang introvert, pun menjadi kian anti-sosial—jauh lebih parah dari sebelumnya. Hal ini memperburuk kegelisahan yang selalu timbul ketika aku berkumpul dengan orang lain.
Pada akhirnya, beginilah ia memanipulasi rasa cinta dan perhatianku. Tak terhitung berapa kali aku meminta untuk menyudahi hubungan ini. Tak terhitung pula berapa kali ia menjadi monster yang depresif dan penuh tendensi untuk bunuh diri di media sosial. Sebagai perempuan, kurasa kita tak akan sanggup melihat hal seperti itu terjadi pada orang yang kita cintai. Aku tak bisa melihat ia menyakiti dirinya sendiri. Jadi aku kembali padanya. Lagi dan lagi.
Dalam periode yang emosional dan penuh gejolak ini, kami tetap memiliki ‘jadwal’ untuk bertemu. Aku tak pernah menganggap pertemuan-pertemuan itu sebagai kencan. Karena memang sama sekali bukan.
Tiap aku merenungkan masa lalu, aku selalu menyesali mengapa aku tak menyadari segalanya lebih awal. Ia menjebakku dalam rasa bersalah dengan cara meminta foto telanjangku, dan mengirimkan foto telanjangnya sebagai imbalan. Kini, aku menyadari bahwa tipu daya ini ternyata juga ia gunakan pada wanita lain—meskipun tak selalu untuk foto-foto telanjang.
Pemikiran kalian tentang hubungan romantis dan pasangan ideal yang kerapkali kalian lihat di media massa adalah gambaran yang dangkal atas #CoupleGoals. Pada kenyataannya, kurasa cara yang paling jujur untuk mengekspresikan ‘Couple Goals’ adalah dengan tidak berlebihan dalam menunjukkan apapun kepada siapapun di dunia maya dan sepenuhnya menikmati kehadiran masing-masing di dunia nyata. Pasangan tak seharusnya membutuhkan validasi dari orang lain tentang hubungan mereka kedua. Well, dalam hal ini, aku dan dia memiliki maksud yang jelas: kami bertemu untuk bersetubuh, paling tidak sebulan sekali, tapi kami tidak memberi label apapun pada hubungan ini.
Kala itu, kami masih tergila-gila dan cinta mati pada satu sama lain. Di sisi lain, kami sadar bahwa kami juga masih saling menyakiti. Karenanya, kami sepakat bahwa dalam hubungan ini, kami bebas bertemu dengan orang lain.
Maka aku mencoba. Aku mencoba untuk berkencan dengan orang lain.
Mungkin bukan sepenuhnya kencan, mengingat yang kami lakukan hanya bertukar pesan dan melakukan video call. Tapi kami ‘berbincang’ dan ‘saling bertemu’ sebagai lebih-daripada-sekadar-teman. Namun, mantan kekasihku itu datang lagi. Entah bagaimana caranya, ketika aku sedang mengalami anxiety attack, ia meyakinkanku bahwa laki-laki yang kutemui itu “hanya menginginkan tubuhku dan dengan segera akan meninggalkanku”; bahwa dirinya adalah laki-laki yang jauh lebih baik—yang mencintaiku sekarang dan selamanya.
Setelah itu, aku tak lagi menemui siapapun. Sedangkan ia tetap berkencan dengan perempuan lain, dan bahkan bercumbu dengannya. Perempuan tersebut kemudian merasa cemburu ketika ia mengakui bahwa ia masih mencintaiku, meskipun hubungan kami tak berstatus. Kecemburuannya tak main-main; berulang kali ia melecehkanku di media sosial karena ia menganggap bahwa aku mengekang perasaan mantan kekasihku itu. Parahnya lagi, tak hanya satu perempuan yang bersikap demikian terhadapku.
Kejadian seperti ini seakan tiada habisnya. Dulu, ketika aku pertama berkencan dengan mantanku itu, mantan kekasihnya yang lain juga melakukan konfrontasi padaku secara online, dan bahkan memaksa untuk bertemu denganku secara langsung.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku ini satu-satunya wanita yang waras, atau justru satu-satunya wanita yang tidak waras di dalam hidupnya?
Sebuah akhir
Kira-kira setengah tahun lalu, aku mengetahui bahwa mantan kekasihku itu telah beberapa kali merayu dua orang temanku—yang mana salah satunya adalah penyelamatku.
Ia mengakui bahwa mantanku memang mendekatinya; ia dengan agresif mengirimkan pesan tiap pagi, bahkan jauh sebelum aku mulai bertukar pesan dengan laki-laki lain. Mulanya, aku bisa lihat bahwa temanku ini tidak nyaman dan ragu-ragu untuk memberitahuku. Akupun sadar bahwa inilah pukulan telak yang kubutuhkan untuk menyadarkanku.
Aku mulai menemui terapis yang disediakan kampusku, tapi mereka mengabaikan kasusku dan tidak menghubungiku lagi setelah beberapa bulan. Aku menyerah. Aku benar-benar sendirian kala itu.
Seakan luka yang kumiliki belum parah, aku kembali mendapat pelecehan dari dua teman perempuanku di media sosial. Aku tak bisa bercerita pada siapapun tentang kondisiku ini—termasuk dan terutama pada keluargaku.
Hampir tiap malam aku menangis sendirian di dalam kamarku. Meratapi kesendirianku dan betapa aku begitu jauh dari keluarga dan teman-temanku di rumah. Mereka yang memberi hidupku makna selama ini. Selama kuliah, aku memang tak memiliki teman dekat untuk berbagi cerita.
Aku sudah hampir menyerah pada segalanya.
Tapi cahaya penyelamat datang dan merengkuhku dalam kehangatannya; seorang teman lama yang menyadarkanku dan menjejalkan kebenaran padaku. Ia dan kebenaran itu telah menyelamatkanku. Aku kemudian memahami bahwa seberani apapun aku, sulit bagiku untuk menjalani proses meninggalkan hubungan yang tak sehat ini sendirian.
Dengan segera, aku mulai menghubungi teman-temanku yang lainnya. Aku membuka diriku pada mereka—aku bercerita dengan penuh kejujuran. Salah satu temanku juga memberitahuku bahwa ia juga didekati oleh mantan kekasihku itu.
Aku mulai menerima saran dari orang-orang terdekatku; bahwa hubungan ini sama sekali tidak baik, bahwa aku harus segera menyudahinya, demi diriku yang lebih baik.
Dan aku pun melakukannya.
Segala keburukan dalam hubungan ini dapat melihat akhirnya karena seorang perempuan, seorang teman, yang bahkan tidak terlalu dekat denganku sebelumnya, memutuskan untuk angkat bicara dan merengkuhku ketika aku sedang hancur.
Aku hendak mendedikasikan kisahku ini untukmu; seorang teman yang menguatkan mentalku, dan untukmu; para pembaca. Jika kau mulai merasa ada tanda-tanda perubahan perilaku yang tak baik pada teman-temanmu, aku harap kau tak mengabaikannya, apalagi mentolerirnya. Aku harap kau bisa menguatkan dirimu untuk merengkuhnya, mendengarkan kisahnya, tidak menghakiminya, dan cukup berani untuk menyatakan kebenaran secara langsung di hadapannya, tak peduli betapa pahitnya kebenaran tersebut baginya.
Ia akan menyangkal. Ia akan menolak. Kumohon jangan menyerah pada temanmu itu. Tetap temani ia. Untuk bisa melalui proses ini, ia butuh waktu—dan ia butuh dirimu.
Aku pun butuh waktu untuk melihat jauh ke dalam diriku dan menerima kenyataan yang pahit itu. Memang, ada beberapa orang yang menolak pertolongan, dan sayangnya, itu memang pilihan mereka yang harus tetap kita hormati.
Namun pada intinya, jauh di dalam diri kita, kita tak bisa terus-menerus berjuang sendirian. Seberani apapun kita, kita butuh orang lain untuk mendukung dan menguatkan kita. Jadilah dukungan itu, dan dengan demikian, bisa saja kau telah menyelamatkan hidup seseorang.
Cerita ini adalah bagian dari seri cerita #PTTMerdeka18#
Tiap Agustus, P#T merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan cara mengajakmu berbagi cerita bagaimana kamu memerdekakan dirimu sendiri. Cerita dapat disampaikan dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris—dengan harapan bahwa cerita tersebut dapat menginspirasi para pembaca. Mari rayakan Hari Kemerdekaan Nasional dengan menyatakan kemerdekaanmu sendiri! Merdeka!
Editor's Note: SADAR” merupakan langkah pertama yang sangat krusial untuk melanjutkan konseling bantuan P#T. Pada umumnya, untuk “SADAR” diperlukan orang lain atau kesadaran diri sendiri.
Lalu, tahap terakhir “TINGGAL” merupakan yang paling pahit dan sulit bagi semua klien. Karena P#T hadir, kalian tidak perlu melakukannya sendiri.
Ketika kalian telah sadar dan batin kalian telah menerima tanpa in denial, barulah konselor kami di P#T akan membantu kalian lewat konseling daring.
Cerita ini dikirimkan oleh Indah kepada situs kami sebagai bagian dari seri #MerdekaBatin. Ia ingin kisahnya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain yang membutuhkan. Ia berharap P#T sudah ada sedari dulu, dan ia mengetahui keberadaan P#T sedari dulu—sehingga tak ada orang lain lagi yang berada dalam kondisi serupa. Ia berusia 19 tahun ketika cerita ini ditulis.
Comentarios