Ketika aku mengabaikan kejujuran dari temanku; saat tiap malam aku mengalami mimpi buruk yang nyaris seperti kenyataan; ketika mantan kekasihku menyuruhku untuk menjadi ‘normal’—ini adalah cerita tentang sebuah hubungan bagaikan wahana rollercoaster paling intens yang pernah kunaiki. (English Version Here)
OLEH FIFI*, 27
DITERJEMAHKAN OLEH VITA KARTIKA
Pernahkah kau merasa bingung dengan seseorang yang kau cintai—orang yang di satu sisi amat menyakitimu, tapi di sisi lain tetap bisa membuatmu bahagia?
Akuilah, tujuan paling utama dari hidup kita yang sesungguhnya adalah untuk menemukan orang yang tepat dari sekian banyak orang di luar sana—sekalipun kita adalah pribadi yang keras kepala dan terus-menerus menyangkal bahwa cinta adalah hal yang nyata dan ada. Seakan itu saja tak cukup, kita masih harus menghadapi harapan-harapan yang dibebankan orangtua kepada anak perempuannya. Tak heran bila kemudian misi ini menjadi kita, yang disimpan dalam-dalam di hati dan pikiran—kita selipkan diam-diam dalam mimpi, doa, dan harapan.
Pembaca, kamu pasti familiar dengan pepatah klasik bahwa “kau takkan pernah tahu bila kau tak mencoba”. Dari sanalah, aku mulai bertemu dengan beberapa orang dan menetapkan pilihan pada seorang lelaki yang kemudian mengubah hidupku menjadi sebuah wahana rollercoaster, selama satu setengah tahun lamanya.
Ia adalah lelaki yang sangat ideal bagi standar orangtua Asia. Ia memiliki sebuah gelar yang membanggakan, ia bersekolah di luar negeri sepanjang hidupnya, ia memiliki karir yang gemilang.
Bukankah aku seharusnya bangga dan merasa beruntung, karena aku bisa dipertemukan dengannya melalui sebuah aplikasi kencan online?
Sebelum kami resmi berhubungan, segalanya terlihat begitu menjanjikan.
Kami bertukar pesan dengan obrolan yang tepat di waktu yang tepat. Salah seorang temanku pernah berkata bahwa sebuah proses pendekatan adalah gambaran dari sebuah hubungan nantinya - pada kenyataan, tidak sama sekali ya.
Hubungan kami diawali dengan saling mencoba memahami karakter masing-masing. Pertama kali aku merasa kecewa—dengan sesuatu yang mungkin memang adalah karakternya—adalah ketika ia tidak menghargaiku sebagai kekasihnya. Ia memperlakukan perempuan lain seperti ia memperlakukanku—ia berbagi gelas dengan teman perempuannya.
Kala itu, aku memaafkannya karena kurasa tiap orang layak untuk diberikan kesempatan kedua, lagipula kesalahan tersebut tak terlalu fatal. Hal ini menarikku lebih dalam menuju berbagai perlakuan buruk dan kekecewaan lainnya. Kini, setelah kupikir-pikir, tanda-tanda itu sudah ada sejak awal. (Jika kau ada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?)
Ia adalah lelaki yang sangat ideal bagi standar orangtua Asia. Ia memiliki sebuah gelar yang membanggakan, ia bersekolah di luar negeri sepanjang hidupnya, ia memiliki karir yang gemilang—bukankah aku seharusnya bangga dan merasa beruntung, karena aku bisa dipertemukan dengannya melalui sebuah aplikasi kencan online?
Enam bulan kemudian.
Dengan segala kesalahpahaman dalam berkomunikasi, kami sepakat untuk saling meluangkan waktu agar dapat lebih sering menelpon satu sama lain. Tapi hal ini tak menghentikannya dari memperlakukan teman-teman perempuannya secara begitu spesial dan berlebihan, menurutku, di depanku. Ia begitu semangat berbagi cerita banyak tentang betapa menariknya mereka—seakan-akan ia adalah penggemar berat mereka.
Kami terperosok lagi di lubang yang sama. Aku menyampaikan protesku dan ia berjanji takkan melakukannya lagi.
Kurasa, aku terlalu banyak menyangkal. Menoleransi perilakunya dan memberinya kesempatan lagi dan lagi membuatku merasa puas dengan ilusi bahwa komunikasi yang baik adalah kunci dari keberhasilan hubungan ini.
Kemudian, ketika aku mulai bertanya pada diriku sendiri apakah aku yakin dengannya, aku mulai merasakan kecemasan menyerangku.
Di sisi lain, dalam kehidupan pribadiku, kala itu aku merasa sudah waktunya untuk berhenti bekerja di perusahaan keluargaku setelah sekian bulan lamanya aku dihadapkan pada hal-hal yang membuatku stres. Aku merasa itu adalah saat yang tepat untuk beranjak dan menjelajah untuk mengetahui passion-ku sendiri.
rasa bersalah yang tak henti mengikutimu di tiap prosesnya. Tapi kurasa semua orang pasti pernah mengalaminya. Aku lantas mencoba peruntunganku dengan melamar di beragam jenis perusahaan sembari merintis usaha kue kecil-kecilan. Kala itu, mantan kekasihku selalu mendukungku. Ia menghiburku ketika aku dirundung masalah. Meskipun begitu, penyesalan terbesar yang berikutnya lagi-lagi datang darinya, ketika aku meminta bantuannya untuk mengecek portofolioku.
Ia kebingungan dengan konten portofolioku—seorang pemula—yang dianggapnya tak layak. Ia memberitahuku dengan cara yang menyakitkan, bahwa aku harus menjadi lebih profesional lagi. Ia membandingkan gaya penulisanku dengan salah satu teman perempuan yang ia selalu banggakan ketika bercerita.
Hal ini memicu kecemasanku, kali ini ke titik yang lebih parah, bahwa ia memiliki hubungan spesial dengan perempuan lain.
Cinta itu buta. Cukup buta untuk mengabaikan batasanku dan menghancurkan kesehatan mentalku sendiri. Tapi aku tetap bertahan.
begitu bersemangat. Segalanya langsung hancur ketika aku mengetahui ia berfoto dengan seorang perempuan yang kami temui di sebuah acara. Ia berkilah bahwa foto tersebut adalah bukti kehadirannya di acara tersebut.
Kali ini, aku sungguh tercengang dan memilih diam, yang menurutnya adalah sebuah silent treatment. Aku tetap diam setelah ia melukai perasaanku sedemikian rupa. Lalu, aku sangat terkejut ketika ia memarahi dan meneriakiku di sebuah restoran tempat acara tersebut diadakan—memaksaku untuk meminta maaf karena telah mengabaikannya.
Enam bulan berselang. Ia tak henti-hentinya menyalahkanku ketika aku membahas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat. Aku hanya bermaksud untuk mengingatkannya, bahwa ia berjanji bahwa ia akan berkomunikasi lebih baik denganku. Apakah itu hal yang salah? Bukankah kita semua butuh berkomunikasi satu sama lain—bukankah inti dari sebuah hubungan adalah komunikasi?
Layaknya sebuah penyakit, hubungan kami adalah tentang saling menghitung dan mengingat kesalahan masing-masing. Ini jelas adalah hubungan yang toxic dan abusif secara emosional.
Jujur, aku harus mengakui bahwa alasan utama aku bertahan adalah karena aku berharap ia akan berubah dan hubungan ini akan menuju ke jenjang pernikahan. Di sisi lain, ia merasa terbebani tiap aku mulai membahas topik ini. Ia beralasan bahwa ia belum siap secara finansial. Tapi, aku yakin bahwa jika kau mencintai seseorang, pasti akan selalu ada solusi untuk segala hal agar kalian bisa tetap bersama—terlepas dari seberapa kaya atau miskin dirimu.
Ya, salahkan aku karena menjadi seorang romantisis.
Tanpa kusadari, kecemasan yang kualami menjadi kian parah dari hari ke hari.
Aku menjadi sangat mati rasa. Aku menjauh dari mereka yang selama ini menjadi tempatku bercerita; keluargaku, teman-teman terdekatku. Pada dasarnya, aku menjauh dari semua orang. Terlepas dari semua itu, aku masih ingin percaya bahwa hubungan kami akan berhasil.
Lambat laun, aku terjerembab dalam kegelapan. Aku menjadi jauh lebih paranoid daripada yang sudah-sudah. Aku tidak mengijinkan mantan kekasihku untuk bertemu dengan teman-teman perempuannya. Aku akui, aku sulit mempercayainya lagi setelah ia membuat banyak kesalahan di masa lalu.
Pada saat itu, aku sepenuhnya paham bahwa aku membutuhkan bantuan profesional untuk mengatasi perubahan suasana hatiku yang ekstrim ini. Aku mencoba menyelamatkan diriku dengan cara mengkonsumsi obat-obatan penenang untuk mengurasi depresi dan rasa sakit di leherku. Orangtuaku bahkan tidak mengetahui tentang hal ini.
Hidupku kian hancur berantakan ketika satu-satunya harapanku—mantan kekasihku—justru kian menjerumuskanku dalam depresi yang lebih parah... Setiap kali aku bercerita padanya tentang kecemasan yang kuhadapi. Ia justru menyalahkanku; bahwa hal-hal yang kualami adalah akibat dari statusku yang pengangguran dan bahwa aku kurang bersosialisasi dengan orang lain.
Dalam benakku, aku diam-diam masih berharap agar ia bisa memahamiku dan kondisi emosionalku yang berantakan ini.
Aku sangat terpukul ketika ia menyebutku sebagai seseorang yang ‘tidak normal’—tepatnya, ia mengatakan ini, “Bisakah kau tolong menjadi kekasih yang normal?”—tak hanya itu, ia juga menganggapku clingy, padahal kami hanya bertemu tiga kali dalam seminggu. Dari kata-kata tersebut, aku bisa memahami bahwa sesungguhnya ia pun merasa insecure. Sebagai pekerja lepas, ia belum mencapai suatu hal yang nyata di usia 29 tahun dan di sisi lain ia juga masih menginginkan kebebasan.
Menyudahi segala sesuatu dengannya sebagai teman bukanlah sebuah pilihan. Aku akhirnya mengakhiri hubungan ini—sudah saatnya aku mengutamakan hati dan jiwaku sendiri.
Aku bersyukur aku masih menyadari bahwa aku bisa mendapatkan bantuan yang kubutuhkan dengan cara menghubungi teman-teman terdekatku lagi. Mereka perhatian akan segala perubahan dan kemunduran yang kualami, bahkan sejak awal hubunganku dimulai. Aku belajar menerima fakta bahwa kami berdua sama-sama membuat kesalahan dalam hubungan ini. Ya, ia memang memperlakukanku dengan buruk, namun aku jugalah yang bertahan dan membiarkannya berlaku demikian padaku.
Dengarkan keluargamu, teman-temanmu, mereka yang dengan baik hati mau berani untuk memberitahumu kebenaran yang pahit. Kepahitan itulah yang mungkin akan menyelamatkanmu. Kepahitan itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan bencana yang akan menimpamu di kemudian hari jika kau mengabaikannya.
Bagian tersulit dari perjalanan ini adalah menerima bahwa aku melakukan kesalahan, dan bahwa aku telah berlaku demikian buruk pada diriku sendiri dengan menjadi seorang romantisis. Untungnya, aku telah berhasil berdamai dengan diriku sendiri—tentunya dengan bantuan dari sahabat-sahabatku, yang mana salah satunya adalah pendiri P#T.
Berita ini adalah bagian dari seri cerita PTTMerdeka18
P#T merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan cara mengajakmu berbagi cerita bagaimana kamu memerdekakan dirimu sendiri. Cerita dapat disampaikan dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris—dengan harapan bahwa cerita tersebut dapat menginspirasi para pembaca. Mari rayakan Hari Kemerdekaan Nasional dengan menyatakan kemerdekaanmu sendiri! Merdeka!
Cerita ini dikirimkan oleh seorang perempuan yang menghubungi kami untuk mendapatkan pertolongan. Ia adalah salah satu inspirasi kami untuk mulai menginisiasi P#T. Ia telah berhasil melalui proses dan menyelesaikan kelima tahap dalam tiga bulan. Ia berusia 27 tahun ketika cerita ini ditulis.
Comments